Benar apa yang
dikatakan oleh Made Taro, bahwa salah satu cerita anak-anak yang diciptakannya
mendapatkan kritikan karena di dalamnya mengandung pesan kekerasan, berupa
potong leher! Sungguh mengerikan jika anak-anak mendapatkan cerita seperti itu.
Maka, meski itu cerita rakyat, sangatlah arif jika kemudian Made Taro bersedia
memperbaiki cerita dongeng yang bersangkutan.
-------------
CERITA Made Taro itu
membangkitkan ingatan akan sebuah peristiwa tahun lalu di Asrama Saraswati,
Surabaya. Saat itu, seorang anak berusia jelang SD asal Bali, harus menjalani
operasi mata di RS Dr. Sutomo yang membuat si anak harus menderita cacat seumur
hidup. Karena masih balita, si anak itu tetap cerah perilakunya. Namun, satu
lagu yang sering dinyanyikannya adalah "Curik-curik". Menurut cerita
anak-anak asrama, orangtua si anak kerap menangis jika mendengar anaknya
menyanyikan lagu itu. Mungkin si anak mendengar lagu tersebut saat di rumahnya
di Bali, dinyanyikan teman-temannya atau siapapun di lingkungannya, dan bisa
jadi tanpa disadarinya anak yang menderita tadi menjadi objek nyanyian.
Sungguh ini peristiwa yang sangat
memilukan. Bukan tidak mungkin banyak anak lain yang mengalami kejadian serupa
tetapi tidak disadari (karena masih kecil) yang membuat orangtua mereka
tertekan. Lagu "Curik-curik jelas lagu populer dan digemari anak-anak,
baik karena iramanya yang nge-rap maupun syair kalimatnya yang terasa
lucu. Kini, lagu anak-anak Bali beredar meluas seiring dengan meluasnya
pemasaran industri VCD.
Kalau dilihat dari perkembangan proses
pembelajaran anak, kiranya tidak hanya dongeng atau cerita pendek yang
mampu mendorong imanjinasi anak-anak dan kemudian membimbingnya dalam proses
kreativitas, inovasi dan pembelajaran kehidupan hingga dia menjadi dewasa
kelak. Nampaknya, kualitas lagu anak-anak pun akan mampu mempengaruhi sikap dan
jiwa perkembangan anak-anak. Syair dan kalimat yang terdapat dalam lagu-lagu
anak-anak itu bisa membentuk sebuah cerita juga, yang pada akhirnya ikut
mempengaruhi sikap mereka. Meskupun misalnya, kelak di suatu saat setelah
dewasa, baru mampu memberikan penilaian terhadap kualitas syair dan kalimat
lagu anak-anak tersebut.
Syair Melecehkan
Setelah Made Taro mengemukakan sebuah
kelemahan dan cerita dongeng di atas, maka semestinya kini usaha-usaha
penelitian terhadap lagu anak-anak pun harus ditelusuri di Bali. Sebab, amat
mungkin juga ditemukan makna-makna kekerasan atau pelecehan terselip dalam lagu
anak-anak Bali yang sudah mentradisional. Salah satu contoh adalah syair dan
kalimat-kalimat lagu "Curik-curik".
Lagu ini begitu populer dan telah
hidup berkembang bergenerasi di Bali. Kini, lagu tersebut diilustrasi dengan
musik modern serta dipasarkan secara luas. Tetapi, cobalah cermati syair dan
kalimat yang ada di dalamnya,
Curik-curik semental alang-alang
(layang-layang) boko-boko,
Tiang meli pohe aji satak aji satus keteng,
Mare bakat anak bagus peceng..."
Tiang meli pohe aji satak aji satus keteng,
Mare bakat anak bagus peceng..."
Secara keseluruhan,
lagu anak-anak itu mengandung makna lucu, dan itulah yang ditangkap oleh
pendengar, terutama anak-anak. Kelihatannya, titik berat serta sasaran kelucuan
itu ada pada kata terakhir, yaitu kata peceng.
Jika seorang ahli
etnomusikologi mencoba menganalisis irama lagu tersebut atau sejumlah lagu anak
lainnya, bisa jadi mereka tercengang karena di Bali ternyata telah tercipta
irama rap, jauh sebelum Amerika Serikat mempopulerkan irama ini pada tahun
1980. Namun, kalau dilihat dari syair kalimat dan pesan kelucuannya, maka
persoalannya menjadi berbeda. Pertanyaannya, mengapa kata peceng (buta
sebelah), harus dimasukkan sebagai sebuah lagu dan dimaknakan sebagai
"ujung tombak kelucuan".
Jika begitu adanya,
dalam pandangan moral dan etika, kata tersebut tidak tepat dan melecehkan.
Padahal, keadaan buta sebelah merupakan kodrat yang sudah didapat sejak lahir.
Tidak pantas hal demikian dilecehkan dan dianggap sebagai peristiwa lucu, lalu
dipakai objek tertawaan melalui lagu. Bagi objek yang mengalami hal demikian,
lagu itu dipandang menghina serta berdampak traumatis berkepanjangan. Peristiwa
menangisnya orangtua si anak yang menderita cacat mata di Asrama Saraswati
Surabaya itu, bisa ditelusuri dari konteks ini.
Dalam bahasa politik,
itu tidak seirama dengan wacana hak asasi manusia (HAM). Mungkin pencipta
"Curik-curik" tidak memikirkan akan konteks perkembangan HAM, atau
pada saat itu kondisi sosialnya tak mempedulikan masalah perasaan dan HAM. Jika
demikian adanya, kewajiban generasi kinilah memikirkan kepantasan dan
kesesuaiannya dengan perkembangan zaman. Mudah-mudahan saja hal seperti ini
telah pernah dipikirkan sebelumnya.
Jika kemudian dinyanyikan
anak-anak, maka secara tidak sengaja lagu itu telah mengajarkan hal-hal yang
bersikap negatif, belajar mengejek, belajar menghina dan melecehkan pada
anak-anak yang justru sedang berproses tumbuh kembang. Bagi objek anak-anak
yang kebetulan punya keadaan fisik demikian, mereka akan berpotensi minder dan
menghambat perkembangan mentalnya. Apakah kemudian dibiarkan hal seperti ini
terus-terusan berkembang tanpa ada upaya membenahinya?
Dalam kasus lagu
"Curik-curik", kini dalam rekaman VCD yang beredar di pasaran justru
ditambahi dengan kata "enjok-enjok" (jalannya pincang) pada kalimat
terakhir. Bayangkan, alangkah menghinanya, sudah buta sebelah, kakinya pincang
lagi. Dan itu dipakai bahan lelucon secara umum. Nampaknya, tambahan kata-kata
terakhir itu merupakan konstruksi industri rekaman -- sebab, di masa lalu,
rasanya kata "enjok-enjok" ini tidak ada.
Konstruksi Ulang
Benar, jika ada yang
mengatakan, "Bukankah itu lagu anak-anak dan anak-anak masih belum tahu
apa-apa?" Namun, justru di situlah masalahnya. Si pelantun lagu itu maupun
objek sasaran akan sadar, di suatu saat setelah dewasa nanti bisa
menyesalkan dan menyesali kemuculan kalimat-kalimat dalam lagu tersebut.
Ada pembelaan, bahwa
lagu "Curik-curik" sesungguhnya sebuah ciptaan yang memesankan bahwa
semua ciptaan Tuhan di dunia ini sama saja maknanya, entah dia normal atau
dalam keadaan cacat fisik. Karena itu, semuanya wajar untuk dilagukan dan
dipakai guyonan. Namun jika dibawa ke masalah kuantitas antara mereka yang
normal dan mereka yang mengalami cacat fisik, pandangan sama makna ini tetap
akan terasa timpang, tidak adil.
Penelusuran dan upaya
mengkonstruksi ulang ini harus dipikirkan juga, mengingat kemajuan teknologi
elektronik memungkinkan lagu-lagu ini diproduski secara massal dan dipasarkan
dengan harga yang sangat terjangkau tanpa melihat kualitas kalimatnya, dan pada
akhirnya berdampak pada perkembangan anak. Meski lagu-lagu tersebut telah
diakui merakyat, beranikah kita secara arif untuk mengubah kata-kata di
dalamnya demi perbaikan perasaan generasi mendatang?
Benar lagu ini
merupakan warisan budaya, namun tak semua warisan budaya harus dilanggengkan
jika memang tak sesuai dengan perkembangan zaman. Paling tidak, ada usaha untuk
menyesuaikan -- bukan menghapus -- jika warisan budaya itu tak sesuai dengan
perkembangan zaman. Dalam kasus lagu "Curik-curik", mungkin cukup
kata keteng dan peceng itu saja diganti dan menghilangkan kata enjok-enjok
tanpa harus mengubah irama dan syair yang lain. Masih banyak lagu rakyat kita yang cukup
nyeleneh. Misalnya, dalam lagu "Made Cerik" ada kata-kata "lilig
motor" (tergilas mobil). Apakah itu tidak mengerikan? Pesta Kesenian Bali
(PKB) yang kini sedang berlangsung, biasanya melibatkan juga kontestan
anak-anak. Entah dalam bentuk kontes permainan tradisional, bernyanyi, dan
sebagainya. Mudah-mudahan, di sela-sela PKB ini, pemikiran untuk memperhatikan,
mengkreasi, serta meninjau ulang perkembangan lagu anak-anak ini sempat
terpikirkan. Jangan lupa, kita selalu punya utang pada generasi penerus!
sumber :
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/6/26/kel1.html
0 komentar:
Posting Komentar