Kenapa pohon besar di bali dibungkus kain?? karena untuk menghormati dan
menghargai alam yang telah memberikan kita hidup lewat oksigen yang kita
hirup dan karena juga sudah ada yang melinggih disana.
Sejak zaman primitive rupanya manusia sudah memiliki naluri untuk
mempertanyakan eksistensi dirinya. Pertanyaan yang terus berkembang
hingga mencapai titik yang tak terjawab oleh batas-batas alam nyata,
yaitu menyangkut dari mana asal muasal kehidupan ini.
Pertanyaan-pertanyaan inilah memunculkan cara pandang transenden,
keinginan menjangkau sesuatu realita yang tersembunyi di alam lain, di
atas alam kenyataan. Dengan pengakuan atas adanya kekuatan atau
eksistensi lain di luar alam nyata ini, kemudian manusia mengembangkan
pemahaman-pemahaman baru dalam tata cara mereka memperlakukan alam
sekitar. Kepercayaan mengenai sebuah pohon angker di Bali misalnya,
dapat dijelaskan sebagai hasrat yang kuat dari manusia yang ingin
menyingkap fenomena ciptaan ini. Ada apakah gerangan di balik yang
nyata? Itulah prinsip pertanyaan dasarnya. Dari pertanyaan dasar itu
berkembanglah kemudian, adakah kekuatan lain di pohon besar ini atau
apakah kekuatan lain yang bersemayam di batu besar ini?
Membayangkan adanya keberadaan lain dalam sebuah benda (di matahari, bulan, langit, laut, sungai, pohon-pohon, batu, keris, pancuran, gua dll) adalah pintu bagi manusia purba memahami adanya potensi energi lain dalam setiap keberadaan. Setiap pohon tidaklah sekadar hadir sebagai penyejuk, tapi padanya terkandung suatu getaran tertentu yang bisa ditangkap oleh kepekaan manusia tentang manfaat maupun sifat dari energinya. Bila menjumpai pohon kepuh, maka orang Bali tidak menyebutkan kalau pohon tersebut memiliki energi gaib yang kuat, tetapi dikatakan kalau pohon tersebut dihuni oleh wong samar. Atau pada serumpun pohon bambu di tepi sungai dikatakan dihuni kawanan memedi usil dan pohon asam yang besar dihuni banaspati. Wong samar, memedi dan tonyo adalah nama-nama makhluk halus di Bali atau tergolong bangsa jin. Ini artinya masyarakat Bali mengasosiasikan suatu energi itu ke dalam suatu wujud yang lebih mudah dipahami pikiran, sehingga melahirkan suatu tata cara dalam bersikap dalam berhubungan dengan keberadaan energi-energi alam gaib itu.
Membayangkan adanya keberadaan lain dalam sebuah benda (di matahari, bulan, langit, laut, sungai, pohon-pohon, batu, keris, pancuran, gua dll) adalah pintu bagi manusia purba memahami adanya potensi energi lain dalam setiap keberadaan. Setiap pohon tidaklah sekadar hadir sebagai penyejuk, tapi padanya terkandung suatu getaran tertentu yang bisa ditangkap oleh kepekaan manusia tentang manfaat maupun sifat dari energinya. Bila menjumpai pohon kepuh, maka orang Bali tidak menyebutkan kalau pohon tersebut memiliki energi gaib yang kuat, tetapi dikatakan kalau pohon tersebut dihuni oleh wong samar. Atau pada serumpun pohon bambu di tepi sungai dikatakan dihuni kawanan memedi usil dan pohon asam yang besar dihuni banaspati. Wong samar, memedi dan tonyo adalah nama-nama makhluk halus di Bali atau tergolong bangsa jin. Ini artinya masyarakat Bali mengasosiasikan suatu energi itu ke dalam suatu wujud yang lebih mudah dipahami pikiran, sehingga melahirkan suatu tata cara dalam bersikap dalam berhubungan dengan keberadaan energi-energi alam gaib itu.