Senin, 15 Juli 2013

Lagu Anak Tradisional Bali Pun Mengandung Hal-hal tak Mendidik


Benar apa yang dikatakan oleh Made Taro, bahwa salah satu cerita anak-anak yang diciptakannya mendapatkan kritikan karena di dalamnya mengandung pesan kekerasan, berupa potong leher! Sungguh mengerikan jika anak-anak mendapatkan cerita seperti itu. Maka, meski itu cerita rakyat, sangatlah arif jika kemudian Made Taro bersedia memperbaiki cerita dongeng yang bersangkutan.
-------------
 CERITA Made Taro itu membangkitkan ingatan akan sebuah peristiwa tahun lalu di Asrama Saraswati, Surabaya. Saat itu, seorang anak berusia jelang SD asal Bali, harus menjalani operasi mata di RS Dr. Sutomo yang membuat si anak harus menderita cacat seumur hidup. Karena masih balita, si anak itu tetap cerah perilakunya. Namun, satu lagu yang sering dinyanyikannya adalah "Curik-curik". Menurut cerita anak-anak asrama, orangtua si anak kerap menangis jika mendengar anaknya menyanyikan lagu itu. Mungkin si anak mendengar lagu tersebut saat di rumahnya di Bali, dinyanyikan teman-temannya atau siapapun di lingkungannya, dan bisa jadi tanpa disadarinya anak yang menderita tadi menjadi objek nyanyian.
Sungguh ini peristiwa yang sangat memilukan. Bukan tidak mungkin banyak anak lain yang mengalami kejadian serupa tetapi tidak disadari (karena masih kecil) yang membuat orangtua mereka tertekan. Lagu "Curik-curik jelas lagu populer dan digemari anak-anak, baik karena iramanya yang nge-rap maupun syair kalimatnya yang terasa lucu. Kini, lagu anak-anak Bali beredar meluas seiring dengan meluasnya pemasaran industri VCD.

Kalau dilihat dari perkembangan proses pembelajaran anak,  kiranya tidak hanya dongeng atau cerita pendek yang mampu mendorong imanjinasi anak-anak dan kemudian membimbingnya dalam proses kreativitas, inovasi dan pembelajaran kehidupan hingga dia menjadi dewasa kelak. Nampaknya, kualitas lagu anak-anak pun akan mampu mempengaruhi sikap dan jiwa perkembangan anak-anak. Syair dan kalimat yang terdapat dalam lagu-lagu anak-anak itu bisa membentuk sebuah cerita juga, yang pada akhirnya ikut mempengaruhi sikap mereka. Meskupun misalnya, kelak di suatu saat setelah dewasa, baru mampu memberikan penilaian terhadap kualitas syair dan kalimat lagu anak-anak tersebut.
Syair Melecehkan
Setelah Made Taro mengemukakan sebuah kelemahan dan cerita dongeng di atas, maka semestinya kini usaha-usaha penelitian terhadap lagu anak-anak pun harus ditelusuri di Bali. Sebab, amat mungkin juga ditemukan makna-makna kekerasan atau pelecehan terselip dalam lagu anak-anak Bali yang sudah mentradisional. Salah satu contoh adalah syair dan kalimat-kalimat lagu "Curik-curik".
 Lagu ini begitu populer dan telah hidup berkembang bergenerasi di Bali. Kini, lagu tersebut diilustrasi dengan musik modern serta dipasarkan secara luas. Tetapi, cobalah cermati syair dan kalimat yang ada di dalamnya,
Curik-curik semental alang-alang (layang-layang) boko-boko,
Tiang meli pohe aji satak aji satus keteng,
Mare bakat anak bagus peceng..."
Secara keseluruhan, lagu anak-anak itu mengandung makna lucu, dan itulah yang ditangkap oleh pendengar, terutama anak-anak. Kelihatannya, titik berat serta sasaran kelucuan itu ada pada kata terakhir, yaitu kata peceng.
Jika seorang ahli etnomusikologi mencoba menganalisis irama lagu tersebut atau sejumlah lagu anak lainnya, bisa jadi mereka tercengang karena di Bali ternyata telah tercipta irama rap, jauh sebelum Amerika Serikat mempopulerkan irama ini pada tahun 1980. Namun, kalau dilihat dari syair kalimat dan pesan kelucuannya, maka persoalannya menjadi berbeda. Pertanyaannya, mengapa kata peceng (buta sebelah), harus dimasukkan sebagai sebuah lagu dan dimaknakan sebagai "ujung tombak kelucuan".
Jika begitu adanya, dalam pandangan moral dan etika, kata tersebut tidak tepat dan melecehkan. Padahal, keadaan buta sebelah merupakan kodrat yang sudah didapat sejak lahir. Tidak pantas hal demikian dilecehkan dan dianggap sebagai peristiwa lucu, lalu dipakai objek tertawaan melalui lagu. Bagi objek yang mengalami hal demikian, lagu itu dipandang menghina serta berdampak traumatis berkepanjangan. Peristiwa menangisnya orangtua si anak yang menderita cacat mata di Asrama Saraswati Surabaya itu, bisa ditelusuri dari konteks ini.
Dalam bahasa politik, itu tidak seirama dengan wacana hak asasi manusia (HAM). Mungkin pencipta "Curik-curik" tidak memikirkan akan konteks perkembangan HAM, atau pada saat itu kondisi sosialnya tak mempedulikan masalah perasaan dan HAM. Jika demikian adanya, kewajiban generasi kinilah memikirkan kepantasan dan kesesuaiannya dengan perkembangan zaman. Mudah-mudahan saja hal seperti ini telah pernah dipikirkan sebelumnya.
Jika kemudian dinyanyikan anak-anak, maka secara tidak sengaja lagu itu telah mengajarkan hal-hal yang bersikap negatif, belajar mengejek, belajar menghina dan melecehkan  pada anak-anak yang justru sedang berproses tumbuh kembang. Bagi objek anak-anak yang kebetulan punya keadaan fisik demikian, mereka akan berpotensi minder dan menghambat perkembangan mentalnya. Apakah kemudian dibiarkan hal seperti ini terus-terusan berkembang tanpa ada upaya membenahinya?
Dalam kasus lagu "Curik-curik", kini dalam rekaman VCD yang beredar di pasaran justru ditambahi dengan kata "enjok-enjok" (jalannya pincang) pada kalimat terakhir. Bayangkan, alangkah menghinanya, sudah buta sebelah, kakinya pincang lagi. Dan itu dipakai bahan lelucon secara umum. Nampaknya, tambahan kata-kata terakhir itu merupakan konstruksi industri rekaman -- sebab, di masa lalu, rasanya kata "enjok-enjok" ini tidak ada.
  Konstruksi Ulang
Benar, jika ada yang mengatakan, "Bukankah itu lagu anak-anak dan anak-anak masih belum tahu apa-apa?" Namun, justru di situlah masalahnya. Si pelantun lagu itu maupun objek  sasaran akan sadar, di suatu saat setelah dewasa nanti bisa menyesalkan dan menyesali kemuculan kalimat-kalimat dalam lagu tersebut.
Ada pembelaan, bahwa lagu "Curik-curik" sesungguhnya sebuah ciptaan yang memesankan bahwa semua ciptaan Tuhan di dunia ini sama saja maknanya, entah dia normal atau dalam keadaan cacat fisik. Karena itu, semuanya wajar untuk dilagukan dan dipakai guyonan. Namun jika dibawa ke masalah kuantitas antara mereka yang normal dan mereka yang mengalami cacat fisik, pandangan sama makna ini tetap akan terasa timpang, tidak adil.
Penelusuran dan upaya mengkonstruksi ulang ini harus dipikirkan juga, mengingat kemajuan teknologi elektronik memungkinkan lagu-lagu ini diproduski secara massal dan dipasarkan dengan harga yang sangat terjangkau tanpa melihat kualitas kalimatnya, dan pada akhirnya berdampak pada perkembangan anak. Meski lagu-lagu tersebut telah diakui  merakyat, beranikah kita secara arif untuk mengubah kata-kata di dalamnya demi perbaikan perasaan generasi mendatang?
Benar lagu ini merupakan warisan budaya, namun tak semua warisan budaya harus dilanggengkan jika memang tak sesuai dengan perkembangan zaman. Paling tidak, ada usaha untuk menyesuaikan -- bukan menghapus -- jika warisan budaya itu tak sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam kasus lagu "Curik-curik", mungkin cukup kata keteng dan peceng itu saja diganti dan menghilangkan kata enjok-enjok tanpa harus mengubah irama dan syair yang lain. Masih banyak lagu rakyat kita yang cukup nyeleneh. Misalnya, dalam lagu "Made Cerik" ada kata-kata "lilig motor" (tergilas mobil). Apakah itu tidak mengerikan? Pesta Kesenian Bali (PKB) yang kini sedang berlangsung, biasanya melibatkan juga kontestan anak-anak. Entah dalam bentuk kontes permainan tradisional, bernyanyi, dan sebagainya. Mudah-mudahan, di sela-sela PKB ini, pemikiran untuk memperhatikan, mengkreasi, serta meninjau ulang perkembangan lagu anak-anak ini sempat terpikirkan. Jangan lupa, kita selalu punya utang pada generasi penerus!

sumber : 
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/6/26/kel1.html


0 komentar:

Posting Komentar